Missed communication sering terjadi jika anak dan orang tua belum menemukan cara yang tepat untuk menyamakan persepsi dan frekuensi. Meskipun seringkali keduanya memiliki kebutuhan, maksud, dan harapan yang sama, namun hal tersebut tidak tersampaikan dengan tepat. Memaknai konflik sebagai kesempatan belajar yang berharga merupakan hal yang penting bagi perkembangan anak.
Konflik yang disikapi dengan tepat dan dikomunikasikan dengan baik, dapat membangun kerja sama yang positif antara anak dan orang tua.
Bagaimana caranya? Fase pertama,
berempati dan komunikasi. Tenangkan diri agar tidak bereaksi secara emosional ketika muncul suatu konflik. Komunikasikan hingga tuntas tentang apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan dari sudut pandang masing‐masing. Sampaikan secara bergantian tanpa interupsi satu sama lain.
Fase kedua, fokus pada solusi.
Prinsip yang harus diingat dan diterapkan pada fase ini adalah fokus pada solusi, bukan hanya tentang siapa melakukan apa, juga bukan pada mana yang salah dan mana yang benar. Diskusikan alternatif dan pilihan solusi yang mungkin diambil, serta kemungkinan dampak dan konsekuensinya. Selanjutnya buat kesepakatan mengenai solusi yang diambil.
Fase ketiga, apresiasi dan refleksi.
Hal ini menjadi point penting, agar anak dan orang tua benar‐benar belajar hal positif dari situasi konflik yang telah dilalui. Apresiasi setiap momen dan upaya masing‐masing. Bagaimana jika solusi yang diambil ternyata tidak efektif?
Jangan kawatir. Evaluasi dan bicarakan kembali.
Pada dasarnya kita semua adalah pembelajar. Jika ada yang salah, perbaiki. Masih belum tepat, perbaiki kembali. Sebuah konflik pun bisa jadi memori kerja sama yang terkenang indah sepanjang masa, jika memaknai dan melewatinya dengan semangat belajar dan bertumbuh bersama.
By – Nanin Aritrana, S.E., S.Psi., M.Psi., Psikolog, CH., CHt.